Kastil Batavia

Graanpakhuizen “Major Massie”

posted in: Journalist | 0

Bangunan yang nyaris runtuh ini di salah satu dinding luarnya tertulis “Major Massie”. Ini adalah bagian dari Kastil Batavia yang dibangun Gubernur Jenderal VOC J.P. Coen pada 12 Maret 1619. Coen merombak benteng lama Fort Jacarta menjadi gudang penyimpan biji-bijian (graanpakhuizen). Bangunan ini berada di sebelah selatan tembok baru yang dibangun Coen mengelilingi Batavia waktu itu.

Kastil Batavia dikelilingi oleh 4 bastion, untuk melindungi beberapa gudang yang berada di areanya. Lokasi Kastil itu berada di Kampung Tongkol, Ancol, Jakarta Utara.

Sewaktu saya mengunjungi lokasi ini setahun yang lalu, di bulan Januari, yang tersisa tinggal bangunan yang tampak seram ini. Menurut warga setempat, 2 gudang sudah kena pembangunan jalan tol, 1 gudang sudah hancur dan tersisa yang ini.

#history
#jakarta
#batavia
#selusur
#LBA
#sejarah
#artefak
#torang_bapontar
#merasakanindonesiamu

Tak Perlu Thanos

posted in: Capture | 0

Tiga tahun lalu, di Munich Security Conference, Bill Gates, tokoh dan dermawan yang juga pendiri Microsoft Corporation bilang, “tak perlu meminjam jari-jari Thanos untuk memusnahkan populasi manusia secara signifikan bila satu virus dapat melakukannya.”

Hari ini kita menyaksikan dunia semakin khawatir dengan Wuhan Coronavirus yang penyebarannya begitu cepat.

Selama ini, pemerintahan dunia, termasuk Indonesia terlalu mengkhawatirkan soal musnahnya populasi karena ancaman perang terutama serangan nuklir, dan perubahan iklim tapi abai soal health security.

Sejarah mencatat, pada 1918 Flu Spanyol menjangkiti sepertiga populasi dunia (sekitar 500 juta orang) dan menewaskan 50-100 juta penderita. Yang masih hangat tentu serangan Ebola pada 2014-2016 yang menewaskan 11.000 orang di Afrika.

Kita semua berharap 2019-nCoV ini tidak menjadi sengeri Flu Spanyol dan Ebola. Tetapi kita juga bisa melihat dampak hantaman Novel Corona yang mulai membuat ekonomi China terancam, dan tentu akan merembet ke berbagai belahan dunia lainnya.

Ekonom di Chinese Academy of Social Science, Zhang Ming memprediksi pertumbuhan ekonomi China melambat lima persen. Tak perlu jauh-jauh soal itu, penghentian penerbangan langsung dari China, jelas akan sangat berpengaruh pada target kunjungan wisman, termasuk di Sulawesi Utara, yang menjadikan wisman asal China sebagai primadona.

Tulisan ini menjadi pengantar untuk berita yang saya ditulis di sini: https://zonautara.com/2020/02/04/virus-corona-akan-pengaruhi-kunjungan-wisman-pada-2020/

Dia Berpose

posted in: Diary | 0

Saya meminta pak Benny, pemandu dari kampung itu untuk berdiri di salah satu sudut Watu Sermeng atau yang populer disebut Gua Batu Cermin. Tujuannya agar foto yang ingin saya ambil ada pembanding skalanya. Eh, malah dia berpose. Saya terpaksa menahan tawa.

Pak Benny adalah orang kampung yang diberdayakan Dinas Pariwisata Manggarai Barat untuk menjadi pemandu saat ada orang yang ingin mengeskplore gua dengan ketinggian 75 meter ini. Iya, Gua Batu Cermin selain masuk ke dalam, juga menjulang ke atas hingga ke puncak batu di ketinggian 75 meter.

Sepanjang kami mengeksplore lorong-lorong sempit, lembab dan gelap, beringsut di antara stalagtit dan stalagmit, pak Benny terus melafalkan nama Theodore Verhoven. Sebagaimana pak Benny, penduduk di sekitar situ juga memuja pastor asal Belanda yang juga seorang arkeolog ini.

Verhoven lah yang menemukan gua ini pada tahun 1952. Karena dia seorang arkeolog, amatannya terhadap beberapa fosil hewan laut yang menempel di dinding-dinding gua membawa dia pada sebuah teori, bahwa pulau Flores termasuk Labuan Bajo, dulunya berada di dasar laut, lalu terangkat ke permukaan karena adanya gempa yang sangat kuat.

Fosil-fosil berupa kerang itu disinari oleh senter yang dibawa pak Benny. Dia tak pernah berhenti mengeja keterangan apa saja yang dia hafal soal gua ini. Sesekali dia menginterupsi saat saya memotret hanya untuk mendengar apa yang dia rasa perlu untuk disampaikan. Termasuk soal anggapannya, bahwa butiran yang bersinar terkena senter itu adalah kristal yang berharga dan patut dijaga kampung mereka.

Tradisi yang Mengakar

posted in: Diary | 0

Ini adalah adegan ke IV pada performance Tari Kecak yang dibawakan Sanggar Tari dan Tabuh Karang Boma Desa Pecatu di Uluwatu, yang menampilkan adegan Hanoman (si Kera Putih) membawa pesan Rama kepada Sita. Tari Kecak yang dipentaskan jelang matahari terbenam itu sendiri terdiri dari 4 babak, dan berlangsung selama sejam.

Hitungan kasar saya, ada lebih seribu orang menonton sajian tari kecak di arena yang sudah disiapkan dengan latar sunset. Sejam sebelum loket dibuka, wisatawan (terbanyak wisatawan mancanegara), sudah mengantri membentuk barisan panjang. Tepat pukul 17.00 sebagaimana tertera di papan pemberitahuan, loket pun dibuka. Wisatawan lokal membayar tiket masuk seharga Rp 100 ribu, dan turis asing lebih mahal dari itu.

Pentas sendiri berlangsung pada pukul 18.00 tepat, saat langit memerah dengan gradasi khas matahari terbenam. Ribuan penonton tertib pada tempat duduknya, dan petugas yang merupakan bagian dari komunitas dan desa adat itu mempersilahkan pengunjung duduk tanpa melihat status dan asalnya.

Sambil memotret, saya mengagumi seni tradisi dan budaya yang tersaji. Ribuan yang antri dan duduk tertib itu rela membayar harga tiket sebesar itu hanya untuk menonton sebuah pentas tari. Jika hitungan kasar saya saja ada seribu penonton, berarti pemasukan pada pentas itu diatas Rp 100 juta. Dan pentas kecak itu, digelar saban hari.

Tak hanya di Uluwatu, pentas kecak juga bisa dijumpai di komplek Garuda Wisnu Kencana dan Tanah Lot. Di sana, wisatawan juga harus membayar tiket masuk untuk bisa menyaksikan salah satu atraksi seni budaya Bali.

Inilah, salah satu kekuatan pariwisata di Bali. Orang yang datang ke Bali, tak hanya disuguhi keindahan panorama alam serta berbagai atraksi wisata, tetapi juga menjumpai tradisi dan budaya yang mengakar. Bukan tradisi dan budaya yang harus diminta untuk dipentaskan.